Sunday, March 09, 2014

Dunia Menulis dan Menulis Dunia (5th Class Review)

Dunia Menulis dan Menulis Dunia

(by: Nofi Maryana)
 
Dunia Menulis dan Menulis dunia

Musik. Semua orang dari berbagai kalangan menyukai musik. Musik merupakan hasil karya seni yang banyak orang gunakan untuk menghibur diri dikala penat. Musisi berperan besar dalam mencipta alunan musik yang indah, tapi seorang musisi tidaklah hebat apabila ia hanya mencipta tanpa peduli akan komponen penyusun musik itu sendiri, padahal musik tidak akan pernah dapat dinikmati apabila ia kehilangan salah satu komponennya. Alat musik, notasi, aransemen adalah segelintir komponennya. Namun yang lebih penting adalah konteksnya yakni bagaimana proses menyatukan semua komponen itu menjadi sebuah alunan musik yang indah. Begitupun dengan teks, tanpa memahami konteksnya, ia akan kosong atau hampa seperti analogi musik diatas. Oleh karenanya berangkat dari gambaran tersebut, 5th class review kali ini akan kembali mengulas perihal teks dan konteks dalam cakupan discourse karena lagi-lagi kesalahan terbesar penulis adalah tidak secara eksplisit menjelaskan keterikatannya. Setelah itu akan dilanjutkan dengan membahas artikle Howard Zinn perihalSpeaking Truth to Power With Book yang kembali menuai kritikan dari mr.Lala.
Kembali penulis dihadapkan pada istilah context, alasan kenapa penulis harus menulis yang berat-berat adalah karena penulis selalu gagal diarea context ini dan salah satu penyebabnya adalah reader conflic. Readers conflic yang sering ditemui adalah kurang familiar dengan teks yang dibacanya sehingga reader seharusnya baca berulang-ulang kali sebelum membuat suatu criitical review.





Context harus diperdalam karena context itu penting, dimana ini adalah dasar yang penulis harus kuasai ketika ingin menulis. menurut Lehtonen (2000) dalam bukunya TheCultural Analysis of Texts mengatakan dalam menginterpretasi teks, ia melihatnya dari dua dimensi, yakni dimensi fisik ( teks as physical being ), dan dimensi semiotik ( teks as semiotic being ). Teks terdapat dalam bentuk fisik, tetapi mereka hadir dalam beberapa bentuk semiotik. Teks berupa fisik merupakan suatu komunikasi artefak. Dengan kata lain, tulisan atau wacana yang ditulis oleh penulis mengandung instrument komunikasi di dalamnya, Saat ini teks dapat ditemukan di mana saja. Kemunculan teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini adalah bertujuan untuk menghasilkan teks tertulis yang berkualitas dan hanya ketika mereka mempunyai beberapa bentuk fisik yang jelas, seperti tinta, kertas, dan lain-lain. Sementara secara semiotik, teks dapat diinterpretasikan ke dalam bentuk tulisan, pidato, musik, gambar, atau simbol lainnya. Dari semua bentuk tersebut, teks dikarakteristikkan ke dalam 3 feature, yakni materiality, formal relation, dan meaningfulness
Teks akan selalu dibarengi dengan konteksnya. Konteks dapat dikatakan makna yang mengelilingi teks dan digunakan untuk memahami teks itu sendiri. Pendapat lain mengatakan bahwa konteks merupakan suatu penggambaran yang diserap oleh reader dan berasal dari teks yang telah dibaca kemudian reader seolah-olah  ikut terjun ke dalam teks tersebut.Ferdinand De Sausure mengaitkan teks dan konteks sebagai signifiant dan signifie. Signifiantadalah teks berupa sistem tanda berupa citra bunyi atau kesan psikologi yang timbul dalam pikiran, sedangkan Signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran pembaca yang diterima dari signifiant. Dengan kata lain konteks hadir di luar teks.
Penulis dan pembaca sama-sama membawa konteks kedalam teks. Konteks mencakup 8 paramater: 
1.      Substansi: materi fisik yang membawa teks,
2.      musik dan gambar, 
3.      paralanguage: perilaku yang berarti bahasa yang menyertainya, seperti kualitas suara,
gerak tubuh, ekspresi wajah dan sentuhan (dalam kecepatan), dan pilihan dari jenis huruf dan ukuran huruf (secara tertulis),
4.      Situasi: sifat dan hubungan objek dan orang-orang di sekitarnya teks, seperti yang dirasakan oleh para peserta (pembaca-penulis),
5.      co-teks: text which proceed or follow that under analysis and which participant judge to belong to same discourse
6.      intertext: teks yang peserta anggap sebagai milik wacana lain, tapi yang mereka kumpulkan dengan teks di bawah pertimbangan, dan yang mempengaruhi interpretasi mereka,
7.      peserta: niat dan interpretasi mereka, pengetahuan dan keyakinan, sikap interpersonal, afiliasi dan perasaan,
8.      fungsi: apa teks dimaksudkan untuk melakukan oleh pengirim dan addressers, atau dianggap dilakukan oleh penerima dan addressees.
Dalam buku Teaching and Researching Writing by Ken Hyland (2009), Cutting (2002 :3), menyebutkan 3 aspek utama penafsiran konteks, yaitu:
 Situational Context : apa yang orang ketahui tentang apa yang mereka lihat di sekitarnya.
 Background Knowledge Context : apa yang orang-orang ketahui tentang dunia,tentang aspek kehidupan dan tentang satu sama lain.
 Co-textual Context : apa yang orang-orang tahu tentang apa yang mereka katakan.
Sedangkan menurut Halliday (1985) ada 3 dimensi konteks, yaitu field, tenor, dan mode.




Masih dalam buku Teaching and Researching Writing by Ken Hyland (2002; 2009), berbicara tentang writing ada beberapa keyword penting yang mendominasi saat menulis, dimana menulis itu melibatkan context, literacy, culture, technology, genre and identity.
T  Konteks : penulis dan pembaca sama-sama berperan dalam meaning making practice. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konteks didalamnya berperan 8 parameter dan 3 aspek penafsiran konteks.
T  Literasi : baca-tulis adalah salah satu bentuk praktek literasiMenulis menawarkan berbagai kemungkinan dunia, yaitu kemungkinan dunia yang tercipta di dalam dan bahkan di luar tulisan. Menulis berarti membentangkan dan membangun dunia. Struktur sebuah tulisan menawarkan dunia baru. Sebuah tulisan menawarkan harapan tentang sebuah dunia. Kemungkinan dunia itu adalah semacam dunia kreasi, yang harus dibangun oleh seorang penulis ketika ia menciptakan tulisan. Literasi ada karena dunia kreasi tersebut.
T  Culture : secara umum dapat dikatakan dengan bagaimana budaya ataupun sejarah mempengaruhi tulisan seseorang. Ketika menulis manusia tak luput dari budaya dan sejarahnya, hal ini yang menimbulkan keberagaman tulisan dan menjadikan sistem jaringan penyampaian makna menjadi bervariasi. Hal ini baik karena setiap tulisn memiliki identitasnya masing-masing.
T  Teknologi : teknologi dalam konteks ini bukan hanya sebagai media saja, tetapi harus dimanfaatkan untuk sarana menulis. Orang yang berliterasi dituntut untuk menguasai teknologi, dimana masa sekarang ini adalah masa serba teknologi. Dalam dunia tulis-menulispun teknologi sudah mengambil tempat penting. Artikel, e-book, PDF (Portable Document Format) makin banyak digandrungi oleh para penulis masa kini.
T  Genre : dewasa ini berkembang pelatihan Bahasa Inggris berbasis genre. Dari sudut pandang masab Systemic Functional Linguistic, Martin (1992:546) mendefinisikan genre “ staged, goal-oriented social processes through which social subjects in a given culture live their lives”. Genre berfungsi sebagai proses sosial karena masyarakat dari sebuah budaya berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai sebuah genre. Dikatakan berorientasi tujuan karena genre berlangsung untuk mencapai sebuah tujuan; dan bertahap karena diperlukan tahapan untuk mencapai sebuah tujuan. Dalam penerapanannya dalam ranah linguistik, genre dikenal sebagai struktur skematik teks untuk mencapai tujuan tertentu sebuah teks. Namun Here written genres are regarded as parts of repeated and typified social situations, rather than particular forms, with writers exercising judgement and creativity in responding to similar circumstances (Hyland 2002).
T  Identity : ini erat kaitannya dengan ke-5 aspek sebelumnya, dimana tulisan yang berlandaskan kelima aspek tersebut akan menciptakan identitas tersendiri. Identitas merajuk pada cara penulis menampilkan siapa mereka sebenarnya (jati diri) lewat perantara tulisan.
Konteks berikutnya yang penulis dapat dari teks dalam slide yang diberikan oleh mr.Lala adalah seputar tugas critical review. Seperti yang kami ketahui critical review adalah tugas ‘Keramat’ bagi kami selaku penulis. Mengapa dikatakan keramat? Dikatakan ‘keramat’ karena sebagai mahasiswa yang baru menginjakkan kakinya dalam dunia critical, mengkritisi sebuah maha karya seorang ahli dibidangnya bukanlah pekerjaan main-main, menyanggah serta mengomentarinya dengan berdasar pada kebenaran teori lainnya menjadikan penulis diambang kebimbangan setiap kali menjalaninya. Dari mulai Appetizer essay, kemudian critical review pertama tentang Classroom discourse to foster religious harmony dan critical review kedua hari ini tentang Speaking Thruth to the Power with Books tak luput dari kekurangan-kekurangan dan pasti tak luput pula dari pandangan mr.Lala. beliau senantiasa membaca dan mengawasi dengan memberikan komentar sebagai responsnya.
 Dalam first critical review saja, ada enam weaknesess yang mr.Lala komentari.  Meliputi: pertama, trapped in trivial matters, yakni dalam mengkritik penulis cenderung memperhatikan hal-hal sepele yang hampir tidak memiliki nilai dibandingkan dengan benang merahnya artikel Classroom discourse to foster religious harmony itu sendiri, sehingga mengakibatkan tulisan  tersebut tidak fokus dan cenderung aneh. Kedua, tidak familiar dengan keywordnya yaitu classroom discourse menjadikan kita semua bingung akan apa yang ingin kita tuliskan dan akhirnya lebih memfokuskan pembahasan pada religious harmoninya. Ketiga, penulis hanya menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan sudut pandang  yang tegas. Keempat, generic structure masih belum terbangun dengan baik. Kelima, pola daftar pustaka sangat berantakan sehingga perlu diperbaiki dan keenam adalah komentar dan saran untuk kita bahwa sebenarnya dalam konteks artikel tersebut banyak sekali ruang untuk kita bisa improve tapi sayangnya penulis missing di area itu.
Jika komentar diatas adalah untuk first critical review, tak jauh berbeda dengan second critical review. Dalam critical review Speaking Thruth to the power with book kesalahan lagi-lagi terjadi dalam konteks yang sama. Ladang yang seharusnya kami garap masih berbentuk composition dimana penullis hanya menggabungkan informasi dari beberapa sumber mengenai Colombus, padahal seharusnya ladang garapan penulis adalah discourse dan critic. Kemudian mengenai generic structure hanya ada satu orang yang secara eksplisit menuliskannya pada paper.
Dalam artikel Howard Zinn, kesalahan yang mendasar adalah kritik penulis kepada paparan atau isi artikel. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa kritikan penulis masih belum terbangun dan cenderung hanya menyuguhkan informasi. Seharusnya banyak yang dapat dikritisi dari artikel tersebut. Zinn menggunakan konteks antropologi untuk mengungkap kebenaran sejarah America. Seperti yang telah diketahui bahwa Zinn adalah seorang antropologist. Sudah barang tentu ia akan mengkritisi sejarah Columbus yang salah karena ia memenuhi tuntutan ideologisnya yakni seorang kritikus dan aktivis politik. Namun muncul pertanyaan-pertanyaan seputar keberanian ia, yang mengungkapkan kebenaran akan Columbus yang notabene berbeda dengan sejarah Columbus yang berkembang saat itu.
Bagaimana bisa seorang akademisi menyerang negaranya sendiri? Apa tindakan negara terhadap orang yang katakanlah teroris karena menyerang negaranya sendiri seperti Zinn, padahal dalam sebuah negara, seluruh warga negara apalagi seorang PNS harus patuh terhadap pempinannya. Lalu bagaimana ia bertahan dalam lingkungan yang notabene tidak setuju alias menentang teori nya itu? Apakah orang-orang Amerika tidak merasa ‘panas’ akan seorang Howard Zinn? Seharusnya itu semua yang penulis kritisi dari artikel Zinn Speaking Thruth to power with book ini. Satu hal lagi yang crusial dibahas akan seorang Howard Zinn adalah kenyataan bahwa apakah ia melihat seorang Columbus benar-benar dari kacamata antropologi ataukah hanya asal ngomong.
Dari quote Noam Chomsky yang berbunyai “Zinn changed the conciousness of a generation of Amerika” dapat diketahui bahwa zinn memanglah orang yang berliterasi. Orang yang berliterasi adalah yang menguasai teks sejarah, dan orang yang menguasai teks sejarah itu mampu mengubah dunia. Tapi sangat disayangkan dalam artikelnya itu, Zinn belum mengaitkan kebenaran sejarah Columbus dengan literasi. Orang yang berlitersi tidak akan mengungkapkan hanya sisi negatif dan keburukan Columbus saja, at lease ada sisi positif dari kedatangan Columbus bagi ekspansi dunia atau sebagainya.
Memang sejarah bila dipandang sama dengan jurnalisme karena ada unsur subyektivitas yang tidak terelakkan di sana. Ketika memilih sebuah tema untuk diberitakan, atau ketika seorang sejarahwan memilih tema untuk ditulis, keduanya sudah dalam posisi subyektif. Mengapa memilih tema ini dan tidak tema yang lain, padahal penting atau tak pentinnya suatu tema, hanya berdasar pada soal “menurut siapa”.tapi yang membuatnya menjadi obyektif adalah bahwa baik sejarah maupun jurnalisme memiliki metode penulisannya masing masing. Dari gambaran ini, Howard Zinn berada disisi yang kalah bukan disisi yang menang seperti Colombus.
Di kubu berbeda dari Zinn disana berdiri Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar Zinn katakan bahwa, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis.
Morison memang menyebutkan bahwa terjadi pembantaian suku asli Amerika (Indian) oleh Columbus tetapi fakta itu tidak sebanding dengan kebohongan yang ia sembunyikan lewat pujian-pujian akan jasa Columbus atas Amerika. Kebenaran yang salah inilah yang dikonsumsi orang-orang seluruh dunia.
Keberpihakan Zinn, adalah soal ideologinya dalam menulis sejarah. Ia seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang digunakan untuk mendukung sebuah perang. Membaca sedikit soal Zinn. James Joyce, sastrawan asal Irlandia itu sekali waktu pernah berujar bahwa sejarah adalah “mimpi buruk yang aku ingin terbangun darinya”. Sepertinya, karena kebencian Zinn itulah ia mencoba mengungkap masa lalu yang kelam bak mimpi buruk, dari sudut si pecundang, agar suatu saat kita terbangun dari apa yang dinamakan “ketidakadilan” dan “penindasan” itu. Oleh karenanya Zinn tidak peduli meski ia seorang PNS yang dihujat oleh orang-orang amerika yang merasa panas akan dirinya, namun pada akhirnya is sukses menyadarkan satu generasi Amerika.
Disinilah unsur-unsur seperti kepentingan politik berperan, menjadikan sejarah ajang permainan kata (teks) orang-orang literat. Hingga Zinn pun tenggelam olehnya. Dalam artikelnya ia mengatakan bahwa sejarah tentang Columbus selama ini ada kebohongan besar tapi ia justru tidak mengungkapkan who exactly discover America is. Bisa jadi penemu Amerika adalah orang china atau bahkan orang islam yang notabene bukan serumpun dengan Zinn, oleh karenanya ia ikut-ikutan menyembunyikan sejarah sebenarnya.
Dalam Literatur yang menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Colombus, antara lain pakar sejarah dan geografer Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi (871-957M). Dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels / Hamparan Emas dan tambang Permata), al-Masudi telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordova, Spanyol, berhasil mencapai benua Amerika pada 889M (5 abad sebelum kedatangan Columbus). Namun disudut pandang lain, disebutkan bahwa sebuah salinan peta berusia 600 tahun mengatakan ihwal laksamana Cheng Hoseorang pelayar yang berkebangsaan china lah, yang pertama kali menemukan benua amerika, fakta ini diperkuat dengan bukti peta ( Artefak ) yang ditemukan oleh LiuGang, seorang kolektor peta china yang menemukan kopian peta kuno Ceng Ho yang disinyalir sebagai penemu pertama benua Amerika sebelum columbus. Demikian ditegaskan oleh sejumlah pakar sejarah, salah satunya Gavin Menzies dalam buku 'Who Discovered America?’. Kedua sejarah ini pada dasarnya sama yakni mengatakan bahwa orang muslimlah yang pertama menemukan Amerika.
Intinya dari class review kali ini adalah dunia penulis dan kawan-kawan semua adalah dunia menulis. Menebarkan benih-benih praktek literasi bangsa. Menulis harus sesuai konteks. Meski definisi dan pemahaman akan konteks berbeda-beda seperti Lehtonen dengan 8 parameter konteks, Hyland dengan 3 aspek utama penafsiran konteks : Situational Context, Background Knowledge Context, Co-textual Context dan 6 aspek penting writing: context, literacy, culture, technology, genre and identity , Ferdinand De Sausure dengan teori Signifiant dan Signifienya, dan Halliday dengan 3 ranah field, tenor, dan mode namun akhirnya akan menunjuk satu peranan yang sama yakni meaning making practice
Lewat konteks seorang penulis mampu menuliskan dunia di dalam dunia menulis, seperti apa yang dilakukan Howard Zinn, guna membangunkan kesadaran akan pentingnya artefak tertulis seperti yang kini kami lakukan. Kemudian mengenai penemu benua America sebenarnya, penulispun masih dirundung kegalauan tingkat tinggi karena banyaknya data yang berlainan. Namun saya sebagai penulis yang non-Amerika dan berlandaskan akan banyaknya data dan bulti yang saya peroleh, tittle sang penemu Amerika cocok diberikan pada laksamana Cheng Ho, sang pelayar muslim dari negeri China.

Referensi
Lehtonen, Mikko. 2000. The Cultural Analysis of Text. London: SAGE Publications Ltd.
Hyland, Ken. 2009. Teaching and Researching Writing. United Kingdom: Pearson Education Limited.

Classroom Discourse for Academic Improvement (4th Class Review)

Classroom Discourse for Academic Improvement


             
            Classroom discourse. Ladang yang seharusnya menjadi garapan critical review kemarin justru tidak banyak di analisis atau bahkan tidak disinggung sama sekali. Hasil survei 24 feb 2014 menyatakan bahwa tidak ada seorangpun di kelas PBI-B/4 yang membahas detail tentang classroom discourse ini. Semua terfokus pada religious harmony nya. Seperti tikus yang masuk kedalam perangkap yang dibuat Mr.Lala, begitulah kiranya para penulis saat itu. Memang teks yang harus dikritisi kemarin itu memiliki dua topik penting yakni classroom discourse danreligious harmony. Salah mengambil pintu masuk ke critical review menjadikan pembahasan sebenarnya-classroom discourse- tidak dibahas.
            Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa teks yang harus dikritisi kemarin itu memiliki dua topik penting yakni classroom discourse  dan religious harmony.  Religious harmonyseharusnyta digunakan untuk fondasi membangun pembahasan classroom discourse. Oleh karenanya pembahasan kali ini difokuskan  pada classroom discourse.
            Classroom discourse menghubungkan beberapa aspek diantaranya adalah aspek pendagogi, peer interaction dan sistem belajar mengajar di dalam kelas. Aspek pendagogi merujuk pada penggunaan metode ajar yang tepat khususnya dalam konteks multicultural class. Sehubungan dengan strategi mengajar itu, filosofi mengajar diterapkan dan dipengaruhi oleh latar belakang, pengetahuan dan pengalaman, lingkungan, serta tujuan pembelajaran yang dirumuskan oleh peserta didik dan guru yang bermuara pada intraksi dalam kelas.
Interaksi atau peer interaction dapat terjadi antara siswa dengan gurunya atau siswa dengan sesamanya. Interaksi yang terjadi di dalam kelas bisa bersifat verbal atau non verbal, tetapi jika itu konteksnya adalah pendidikan formal maka interaksi yang digunakan bersifat verbal. Baik lisan atau tulisan.
Sebelum jauh membahasa classroom discourse ada baiknya jika kita mengetahui arti dari classroom discourse itu sendiri. Classroom discourse atau wacana kelas, wacana dalam Kridalaksana (2011) dipaparkan sebagai satuan bahasa terlengkap, sedangkan dalam hirarki gramatikalnya merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Konteks wacana meliputi situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan,topik, peristiwa dan sebagainya.
Sedangkan kelas dapat didefinisikan dalam dua perspektif. Dalam arti sempit kelas adalah ruang kecil yang dibdtasi oleh dinding yang biasa digunakan sebagai tempat berkumpul siswa untuk mengikuti proses pembelajaran. Sementara dalam arti luas kelas diartikan sebagai suatu masyarakat kecil diluar sekolah yang diorganisasi menjadi unit kerja dinamis dalam menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif demi tujuan tertentu.
Istilah classroom discourse akan selalu bertautan dengan analisis. Pada classroom discourse analisis (CDA) yang dianalisis adalah talk atau ujarannya. Analisis talk keberadaannya crusial sekali dalam clasroom, karena discourse merupakan gabungan dari teks dan konteks. Oleh karena itu discourse mencakup beberapa aspek, yakni background, communication, goal-driven, dan meaning making practice.
Background setiap peserta didik pastilah berbeda, baik dari segi ekonomi, culture, psikologi, sosial, oleh karenanya tugas guru sebagi pendidik harus mampu berkomunikasi dengan mereka semua. Komunikasi yang dibangun haruslah berbeda guna mengkondisikan anak, anak bisa saja tidak mengerti akan ucapan temannya dan disinilah guru mengambil peranan.
Goal-driven mengarah pada teori yang mengatakan bahwa di dalam dan di luar kelas itu berbeda ranahnya. Tujuan atas wacana yang dilakukan siswa didalam kelas akan berbeda apabila ia berada di lingkungan masyarakat. Bisa seperti itu karena konteksnya juga berbeda. Kemudian yang terakhir adalah meaning making practice dimana dari sinilah bermula sesuatu yang mengarah pada ranah religious harmony. Semua yang dilakukan guru dan siswa di dalam kelas tujuan akhirnya adalah meaning making practice dimana kedua belah pihak saling mengaerti dengan komunikasi yang mereka bangun. Berikut adalah analoginya.



Jadi yang dapat disimpulkan dari penjelasan singkat ini adalah keselarasan mengatur kelas bauik dalam intekaksi, komunikasi,local differences pada akhirnya akan menumbuhkan mutual understanding. Bukan hanya toleransi tetapi juga academic improvementnya.

Literacy Wave (3rd Class Review)

Literacy Wave

Pernah mendengar istilah “Korean Wave?” ya, itu adalah istilah yang digunakan untuk tersebarnya budaya pop-korea secara global ke seluruh penjuru dunia. Oleh karenanya, Literacy wave. Istilah yang saya berikan khusus untuk mendeskripsikan tersebarnya budaya literasi secara global di berbagai negara di dunia termasuk indonesia bahkan PBI semester 4 IAIN SNJ Cirebon.
Di PBI semester 4 IAIN SNJ Cirebon sendiri, rating literasi semakin hari semakin memunculkan eksistensinya, bahkan kini literasi mencapai rating tertinggi dalam deretan tangga wacana yang paling sering dibicarakan sejurusan PBI. Sejatinya seperti yang dikatakan oppa Hylland bahwa ‘literacy is something we do’.
Sedikit membahas tentang  pembahasan minggu kemarin atas tulisan bapak Prof. Chaedar Al-Wasilah dalam salah satu bukunya yakni Rekayasa Literasi. Menurut beliau literasi merupakan praktek budaya yang berkaitan tak hanya dengan persoalan politik, namun juga persoalan sosial, ekonomi, bahkan psikologi. Praktek budaya semacam ini lama-kelamaan akan membentuk sebuah peradaban, peradaban literasi.
Sebuah negara dikatakan sebagai negara yang berperadaban adalah ketika negara tersebut mampu memakmurkan warga negaranya (bengsa yang kaya), tingkat keamanannya tinggi, dan tingkat kenyamanannya terjamin atau dengan kata lain negara yang berperadaban adalah negara yang seimbang baik secara ekonomi, sosial, politik bahkan psikologinya dan yang paling penting adalah negara yang high literate.
Seiring berkembangnya jaman yang semakin menggila ini, menuntut literasi untuk terus mengembangkan definisinya sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaranpun tak terelakkan lagi. Dalam tulisannya beliau juga menjelaskan tentang model literasi yang populer ala Freebody and Luke (2003) dimana : breaking the codes of texts; participating in the meanings of text; using texts functionally; critically analysing and transforming texts. Kemudian beliau meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
Masih seputar literasi, menurut beliau rujukan literasi dalam dunia pendidikan tak henti-hentinya berevolusi dari masa ke masa, sedangkan disisi lainnya rujukan linguistik relatif konstan atau statis. Akibatnya praktek studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) dengan dimensinya yang sangat luas. Menanggapi kasus semacam ini, dibutuhkan peran aktif pemerintah sebagai pengambil keputusan tertinggi seyogyanya mampu menciptakan pendidikan yang berkualitas tinggi, karena sejatinya pendidikan yang berkualitas tinggi akan mengasilkan literasi berkualitas tinggi pula, begitupun sebaliknya.
Berbicara mengenai pendidikan berkualitas tak lepas kaitannya dengan peran serta GURU. Dituliskan pula oleh bapak Chaedar bahwasanya ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994). Oleh karena itu penting bagi seorang guru mengajarkan dan mengaplikasikan empat pokok pelajaran: Reading, writing, arithmetic, and reasoning sebagai bekal modal hidup mereka dimasa depan.
Keempat pokok pelajaran ini, jika tersampaikan secara sempurna maka akan menghasilkan siswa yang mempunyai cita rasa literasi atau berliterat karena orang yang multiliteratlah yang mampu berinteraksi dalam berbagai situasi, namun sebaliknya bagi mereka yang tidak literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media masa.
Jika Prof. Chaedar sibuk merekayasa litersinya, sebagian dari kita pasti sibuk dengan sesuatu yang direkayasa beliau. Ya, sebenarnya apa sih yang direkayasa itu? Literasi? Rekayasa literasi itu, yang direkayasa apanya? Sejatinya rekayasa literasi itu adalah merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi rekayasa literasi: linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Karena pengertian dari Rekayasa literasi itu sendiri adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Menggarisbawahi penguasaan bahasa secara optimal, Hyland berpendapat: “academic literacy emphasizes that the ways in we use language, referred to as literacy practices, are patterned by social institution and power relationships.” Menurutnya berbahasa adalah berliterasi -literacy as an activity located in the interactions between people, Hamilton (1998), as cited in Hyland (2006: 21). Oleh karenanya lewat keberhasilan akademis berarti repersenting yourself in a way valued by your discipline, adopting the values, beliefs, and identities which academic dissourse embody. Singkatnya literasi sudah masuk kedalam berbagai aspek kehidupan manusia yang ditandai dengan merebaknya Literasi wave.
Salah satu jalur yang dilalui oleh literasi wave adalah academic writing. Seperti yang dikutip oleh bapak Chaedar dari Michael Barber “In the 21st century, world class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play their part as citizen of a democratic society.” Oleh karenanya pembelajaran academic writing harus diajarkan seuai standar high literate agar mahasiswa mampu bersaing di kancah dunia sekarang ini.
Persiapan pertama adalam mengetahui elemen-elemen dasar academic writing yang mana berbeda dengan writing context lainnya. Elemen academic writing menurut pak Lala ada 9.
1.      Cohesion       : the smooth movement or “flow” between sentences and paragraphs. Intinya kohesi harus ada untuk menghubungkan kalimat dengan kalimat selanjutnya atau kalimat dengan parangrap setelah dan sebelumnya agar tidak merjadi diintegrasi makna.
2.      Clarity            : the meaning of what you are intending to communicate is perfectly clear. Penggunaan bahasa yang tepat, tidak berbelit, serta tidak melebar ataupun keluar dari topik agar makna yang dimaksud tersampaikan dengan baik. Untuk meningkatkan kejelasan tulisan, bisa gunakan kalimat deskriptif atau gunakan referensi yang jelas.
3.      Logical Orderrefers to a logical ordering of information. In academic writing, writers tend to move from general to specific. Singkatnya kronologi ide paragraf, penempatan setiap paragraf harus tersusun dengan rapih dan berurutan.
4.      Consistency  : Consistency refers to uniformity of writing style. Pemilihan style dalam menulis perlu diperhatikan. Gunakan hanya satu style, jika ingin menjabarkan tulisan anda dengan deskriptif maka harus gunakan structure dari teks deskriptif.
5.      Unity              : At its simplest, unity refers to the exclusion of information that does not directly relate to the topic being discussed in a given paragraph. Semua yang berada dalam paragraf berkaitan dengan ide pengendali. Penulis yang baik
6.      Conciseness  : Conciseness is economy in the use of words. Tulisan yang baik akan dengan modah diambil poin-poinnya dan menghilangkan kata yang tidak dibutuhkan serta tidak perlu pengulangan (pemborosan kata, or “dead word.”)pemberian informasi yang tidak penting akan mempengaruhi unity dan cohesion.
7.      Completeness    : While repetitive or unnecessary information must be eliminated, the writer has to provide essential information on a given topic.     
For example, in a definition of chicken pox, the reader would expect to learn that it is primarily a children’s disease characterized by a rash. Ketika pemborosan kata harus dihilangkan maka penulis harus menyediakan informasi yang esensial sebagai topik.
8.      Variety           : Variety helps the reader by adding some “spice” to the text. Bumbu-bumbu penyedap boleh ditambahkan pada tulisan agar tulisan berwarna dan tidak monoton.
9.      Formality       : Academic writing adalah ranah formal yang berarti sophiticated vocabulary dan struktur gramatikalnya patut digunakan. Tambahan: perlu hindari pemakaian pronoun “I” karena mengindikasikan bahwa tulisan itu bersifat subjektif.
Jadi yang dapat disimpulkan dari pembahasan diatas adalah, pertama literasi sudah menjadi sesuatu yang pokok dalam kehidupan, baik ketika berbahasa atau beraktifitas sehari-hari. Sudah sepatutnya generasi muda melek literasi agar mampy bersaing di masa sekarang ataupun masa yang akan datang. Kedua, dalam mempelajari academic writing perlu sadar akan elemen-elemen penyusunnya terlebih dahulu karena kita tidak bisa membangun tanpa pondasi.

Lebih banyak orang yang merasa dekat dengan budaya lliterasi
maka pelan-pelan akan memunculkan

Sense of belonging terhadap literasi itu sendiri.